Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) enggan menghadiri undangan klarifikasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang sedianya berlangsung pada Selasa (8/6/2021) hari ini pukul 10.00 WIB. Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menyebut, pihaknya mempertanyakan maksud pemanggilan pimpinannya terkait dugaan pelanggaran HAM dalam proses TWK untuk beralih status menjadi ASN. "Senin, 7 Juni 2021, pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK," kata Ali saat dikonfirmasi , Selasa (7/6/2021).
Ali menyebut, pimpinan KPK sangat menghargai dan menghormati apa yang menjadi tugas pokok fungsi Komnas HAM. Namun, Ali menegaskan proses peralihan status pegawai KPK merupakan perintah undang undang dan KPK telah melaksanakan UU tersebut. "Pelaksanaan TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) dilakukan oleh BKN (Badan Kepegawaian Negara) bekerja sama dengan lembaga terkait lainnya melalui proses yang telah sesuai mekanisme sebagaimana peraturan perundang undangan yang berlaku," ungkapnya.
Di sisi lain, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, pihaknya telah menerima surat balasan dari pimpinan KPK. Taufan mengatakan surat itu telah diterima Komnas HAM pada Senin (7/6/2021) kemarin. Meski belum membuka isi surat tersebut, Taufan sudah mendengar selentingan jika pimpinan KPK tidak bisa menghadiri undangan klarifikasi terhadap semua pimpinan KPK.
Menurut Taufan, jika memang pimpinan KPK tidak bisa menghadiri undangan klarifikasi dari Komnas HAM maka yang dirugikan adalah pihak KPK sendiri. "Risikonya tentu kita tidak bisa mendapatkan keterangan yang seimbang dari para pihak." "Jadi yang akan dirugikan justru pihak KPK sendiri, karena berarti keterangan penyeimbang dari mereka kan tidak kita dapatkan," kata Taufan di kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Selasa (8/6/2021).
Untuk itu, ia berharap pimpinan KPK bisa datang untuk memberikan klarifikasi terkait informasi yang telah didapat Komnas HAM RI dari pegawai KPK yang telah menyampaikan aduan beberapa waktu lalu. "Maka harapan kami, datanglah berikan keterangan," kata Taufan. Sebelumnya diberitakan , Komnas HAM mendapat keterangan yang selama ini tidak muncul di publik terkait alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam mengatakan, keterangan tersebut berpotensi menjadi karakter temuan baru dalam proses penyelidikan dugaan pelanggaran HAM terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan alih status pegawai KPK. "Kami juga dikasih satu keterangan yang menurut kami potensial menjadi karakter temuan baru. Jadi, memang ada satu dinamika yang memang selama ini tidak muncul di publik," kata Anam di kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Kamis (27/5/2021) lalu. Anam berharap, keterangan tersebut menjadi titik terang bagi publik serta bangsa dan negara untuk meletakkan tata kelola negara yang bebas korupsi.
"Semoga ini menjadi sesuatu yang terang bagi kita terang bagi publik dan terang bagi bangsa dan negara kita untuk meletakan tata kelola negara ini terbebas dari korupsi," kata Anam. Untuk itu, kata Anam, ia berharap Presiden Joko Widodo memberikan perhatian terhadap peristiwa tersebut. "Sekali lagi kami mengatensi bahwa presiden memang harus memberikan atensi terhadap peristiwa ini, karena semata mata ini hanya untuk kepentingan tata kelola negara kita yang lebih baik yang terbebas dari korupsi," kata Anam.
Diketahui, Tim Kuasa Hukum Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) yang juga Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan, pihaknya menyerahkan dokumen tambahan setebal 546 halaman terkait dugaan pelanggaran HAM dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan proses alih status pegawai KPK ke Komnas HAM. Dalam dokumen tersebut, termuat sejumlah fakta berupa keterangan dan data yang menunjukkan TWK diskriminatif. Selain itu, kata Asfinawati, dokumen tersebut juga memuat bukti yang menunjukkan TWK sudah ditentukan hasilnya sebelum tes tersebut dimulai.
Hal tersebut disampaikannya usai pertemuan dengan Komisioner Komnas HAM RI di kantor Komnas HAM RI Jakarta pada Kamis (27/5/2021). "Jadi tepatnya kami menyerahkan dokumen setebal 546 halaman dan tentu saja ada banyak sekali keterangan dan data di dalamnya yang menunjukkan tes ini sebenarnya diskriminatif." "Dan tes ini sudah ditentukan hasilnya sebelum dimulai, dan kira kira 546 halaman itu nanti ada fakta fakta untuk membuktikan hal tersebut," kata Asfinawati.